ASMAUL HUSNA
ANTARA BENTUK LINGUISTIK DAN MAKNA TEOLOGI
PENDAHULUAN
Suatu ketika Nabi muhammad Saw. Berdoa dengan menyebut “ Ya Allah, Ya Rahman”, orang orang kafir yang mendengarnya menganggap bahwa ar-rahman adalah nama tuhan lain selain Allah. Merekapun mengatakan bahwa Rasulullah berdoa kepada dua tuhan. Para ahli tafsir menyatakan bahwa itulah sebab turunnya ayat 110 surat al-isra’[1]:
قل ادعوا الله أو ادعوا الرحمن أيّا ما تدعوا فله الأسماء الحسنى
Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Asmaul Husna (nama-nama yang baik)”Berdasarkan ayat di atas, Asmaul Husna adalah nama-nama yang terbaik bagi Allah yang sesuai dengan sifat-sifat-Nya dan dianjurkan bagi kita untuk menggunakannya dalam berdoa. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi menyebutkan jumlah Asmaul Husna sebagai berikut:
إن لله تسعة وتسعين إسما من أحصاها دخل الجنة
Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama. Barangsiapa yang menghafalkannya niscaya ia akan masuk surga.Para ulama berpendapat bahwa maksud hadits di atas adalah “barangsiapa yang menghafal dan memikirkan makna Asmaul Husna ia akan masuk surga”[2], di antara 99 nama Allah yang terbaik itu, 76 terdapat dalam al-Qur’an dan 23 lainnya terdapat dalam hadis.[3]
Seperti yang akan dipaparkan di bawah ini, sebagian dari Asmaul Husna adalah berupa Mubalaghah baik berupa bentukan kata maupun masdhdar (Infinitif). Ny. Maslichah[4] mensejajarkan Mubalaghah dalam kesusastraan Arab dengan hiperbola karena berpegang pada pendapat Badudu yang menyatakan bahwa apabila sepatah kata diganti dengan kata lain yang memberikan pengertian yang lebih hebat dari kata tadi, maka gaya bahasa seperti itu disebut gaya bahasa hiperbola atau hiperbolisme[5] yang di dalam kesusastraan Indonesia hiperbola dinyatakan sebagai ungkapan pengeras.
Masih menurut penulis di atas, Mubalaghah dibagi menjadi dua. Pertama : yang bersifat lafdli (مبالغة لفظية), yaitu yang tampak jelas pada pilihan kata di dalam kalimat. Kedua : yang secara implisit terkandung dalam gaya bahasa/ tatanan kalimat dan bentukan kata (مبالغة معنوية). Sementara yang implisit terdiri ddari lima macam, yaitu (1) Tasybih baligh, atau metafora yang termasuk subkategori majas perbandingan, (2) Penggantian isim Fail (Nomina yang bermakna pelaku) dengab mashdar ‘infinitif’, (3) Peleburan jumlah Fi’liyyah (kalimat Fi’liyyah) menjadi jumlah ismiyyah (kalimat Ismiyyah) dengan cara membuang verbal dan pelakunya serta menambahkan alif lam pada nomina sebagai subjek kalimat, dan menambahkan huruf ba’ ke dalam musnad (predikat), dan (4) Mubalaghah yang tampak pada bentuk kata.
Dengan melacak masing-masing istilah hiperbol dan Mubalaghah secara etimologis dan terminologis serta kaitannya dengan teologi Islam, tulisan ini ingin membahas masalah tersubut di atas terutama yang berkaitan dengan Asmaul Husna.
Hiperbola dan Mubalaghah
Hiperbola termasuk bagian dari majas, istilah pinjaman dari bahasa Arab majaz yang menurut moeliono[6] merupakan terjemahan kata Belanda stylfiguur atau figure of speech, yang oleh Abrams[7] disebut juga rhetorical figures, schemes atau trope, suatu istilah dari bahasa latin tropus.[8] Majas atau kiasan adalah alat untuk memperluas makna kata atau kelompok kata untuk memperoleh efek tertentu dengan membandingkan atau mengasosiasikan dua hal.[9]
Menurut moeliono[10], majas dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu (1) majas perbandingan yang terdiri dari perumpamaan, metafora, dan personifikasi; (2) majas pertentangan yang mencakup hiperbol, litotes, ironi, dan (3) majas pertautan yang mewadahi metonimia, sinekdoke, kilatan, dan eufimisme. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hiperbol adalah subkategori majas pertentangan
Secara etimologis kata hiperbol bersal dari bahasa latin hyperballein yang berarti melebihi atau melampaui, dari kata hyper+ballein, melempari setan atau orang jahat. Istilah ini oleh Webster[11] diuraikan sebagai:
“Extravagant Exaggeration that represents something as much greater or less, better or worse, or more intense than it really is or that depicts the impossible as actual (as “mile-high ice gream cones”) – opposed to litotes.”
Dalam kamus besar bahasa Indonesia[12] hiperbol dinyatakan sebagai “ ucapan (ungkapan, pernyataan) kiasan yang dibesar-besarkan (berlebih lebihan), dimaksudkan untuk memperoleh efek tertentu, bukan yang sebenarnya” lebih gamblang lagi hiperbol adalah “ungkapan yang melebih-lebihkan apa yang sebenarnya dimaksudkan: jumlahnya, ukurannya atau sifatnya. Misalnya sejuta kenangan indah, terkejut setengah mati, berhari-hari tidak mengejabkan mata barang sesaat.”[13] Dari terminologi di atas dapat digarisbawahi bahwa hiperbol adalah the impossible as actual atau ungkapan yang dibuat-buat dan tidak terjadi dalam realita.
Sementara kata Mubalaghah berasal dar kata balagha yang berarti sungguh-sungguh dan tidak teledor.[14] Al-Bustani[15] menyatakan bahwa Mubalaghah menurut orang Arab adalah: أن يدعي لشيئ وصف يزيد على ما في الواقع ‘Pemberian sifat pada sesuatu yang melmpaui batas realita.’ Menurut al-Hasyimi,[16] Mubalaghah didefinisikan sebagai: أن يدعي المتكلم لوصف بلوغه في الشدة أو الضعف حدا مستبعدا أو مستحيلا terjemahannya adalah ‘ungkapan yang oleh pembicara dianggap berlebihan sampai batas sangat jauh atau mustahil’.[17]
Mubalghah, menurut al- bustani[18] diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu:
Bentukan kata Mubalaghah (المبالغة بالصيغة) seperti ضراب ‘ tukang pukul’ , علامة ‘pakar’, مفضال ‘orang yang banyak kebijakannya’ dan sebagainya[19]. Ma’luf [20] menyatakan bahwa wazan Mubalaghah yang paling populer ada lima belas, yaitu:
فعال contoh: نصار artinya ‘orang yang banyak menolong’. فعالة contoh: علامة artinya ‘orang yang sangat alim’. مفعال contoh: مكسال artinya ‘gadis pemalas’. فعيل contoh: صديق artinya ‘orang yang sangat suka pada kebenaran’. مفعيل contoh: مسكين artinya ‘orang miskin’. فعلة contoh: ضجعة artinya ‘orang yang banyak tidur’. فعل contoh: شره artinya ‘orang rakus’. فعيل contoh: رحيم artinya ‘Yang Maha penyayang’. فعول contoh:كذوب artinya ‘pembohong’. فاعلة contoh: راوية artinya ‘orang yang banyak meriwayatkan’. فعل contoh: غفل artinya ‘orang yang tak dapat diharapkan kebaikannya dan tidak dikuatirkan mencelakan’. فعولة contoh: فروقة artinya ‘yang amat ketakutan’. مفعل contoh: محرب artinya ‘pemberani’. فاعول contoh: فاروق artinya ‘yang bijaksana’. فعال contoh: كبار artinya ‘ yang besar’.
(2) Mubalaghah bi al-washf (المبالغة بالوصف), yaitu Mubalaghah yang dilihat dari sudut pandang logika dan realitas. Mubalaghah , ungkapan yang dianggap berlebihan tersebut, terbagi menjadi tiga,[21] yaitu.
Tabligh (تبليغ) adalah ungkapan yang dianggap berlebihan tetapi dapat diterima menurut logika dan terjadi dalam realita kehidupan, contoh surat an-nur, ayat 40:
ظلمات بعضها فوق بعض إذا أخرج يده لم يكد يراها
“gelap gulita yang tindih bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya”
Ighraq (إغراق), yaitu ungkapan yang dianggap berlebihan, dapat diterima menurut logika tetapi tidak mungkin terjadi dalam alam nyata, seperti ungkapan seorang penyair yang memuji kaumnya dan dirinya sendiri: (ونكرم جارنا ما دام فينا ونتبعه الكرامة حيث مالا) ‘selama berdampingan kami memuliakan tetangga, dan kan selalu begitu, kemanapun ia pergi’
Memuliakan tetangga adalah suatu hal yang biasa dilakukan seseorang, tetapi selalu memuliakan tetangga dimana pun ia berada adalah ungkapan berlebihan yang tak mungkin terjadi dalam kenyataan.
Ghuluw (غلو) adalah ungkapan yang berlebihan yang tak mungkin terjadi baik menurut logika maupun berdasarkan realita, Ghuluw ini dibagi lagi menjadi dua yaitu:
Apabila ungkapan tersebut disisipi kata-kata يكاد ‘hampir-hampir’ atau إن ‘meskipun’, contoh (1) sebagaimana yang terdapat dalam surat an-Nur, ayat 35. “يكاد زيتها يضيء ولولم تمسسه نار ” ‘minyaknya saja hampir-hampir bersinar walaupun tidak terkena api (karena indahnya ,seakan minyak itu menyala sendiri)’, contoh (2) sebagaimana terdapat dalam hadis Nabi berikut ini: “كل مسكر حرام وإن كان الماء القرح” ‘setiap yang memabukkan haram hukumnya, meskipun berupa air tawar’. Air tawar yang dapat memabukkan, dalam Hadis di atas meskipun tidak tercampur oleh apapun, adalah mustahil dalam realita.
Mardud (مردود) ‘yang tertolak’ adalah ungkapan berlebihan yang tak disisipi oleh salah satu kata يكاد ‘hampir-hampir’, لو ‘andaikata’, إن ‘meskipun’, contoh: وأخفت أهل الشرك حتى انه لتخافك النطف التي لم تخلق ‘orang-orang musyrik merasa takut karenamu, sperma yang belum tercipta pun takut kepadamu’. Penggunaan masdhar (‘infinitif’) yang dipakai sebagai sifat dianggap berfungsi sebagai Mubalaghah[22]. Masdhar yang merupakan pengganti dari isim fa’il adalah dalam kategori Mubalaghah bi al-washf.
Dari uraian di atas, Mubalaghah dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu tabligh, ungkapan yang masih mungkin terjadi dalam alam nyata dan ighraq serta ghuluw, ungkapan yang tidak mungkin terjadi dalam realitas. Dalam Al-Maurid, sebuah kamus Inggris –Arab yang ditulis oleh ba’albaki,[23] hiperbol disejajarkan dengan ighraq dan ghuluw dan tidak termasuk tabligh, ungkapan yang mungkin terjadi menurut logika dan realitas. Dengan kata lain Mubalaghah adalah “Hiperbol+”, yakni ungkapan yang dianggap berlebihan baik yang mungkin terjadi dalam realita maupun yang hanya berupa khayal belaka.
Kalsifikasi Asmaul Husna
Di antara Asmaul Husna yang berjumlah 99 terdapat nama-nama allah yang berupa bentukan kata Mubalaghah dan masdhar (‘infinitif’). Berdasarkan wazan-wazan Mubalaghah yang dianggap paling populer oleh Ma’luf di atas, di bawah ini Asmaul Husna yang berupa bentukan Mubalaghah akan di klasifikasikan berdasarkan wazan masing-masing, kemudian akan disajikan pula Asmaul Husna yang berupa masdhar (‘infinitif’). Asmaul Husna yang berupa bentukan kata Mubalaghah, menurut wazannya, dapat diklasifikasikan dalam tujuh kelompok, yaitu:
(1) فعلان, hanya terdapat satu kata yaitu الرحمن, ‘Yang Maha Pengasih’, (2) فعل, hanya terdapat satu kata yaitu الملك ‘ Yang Merajai’, (3)فعول, hanya terdapat satu kata yaitu القيوم, ‘Yang tidak memiliki permulaan dan berdiri sendiri’, (4)فعول, hanya terdapat satu kata yaitu القدوس, ‘Yang Maha suci dari segala kekurangan dan cacat’, (5) فعول, terdapat lima kata yang mengikuti wazan ini yaitu الغفور, ‘Yang Maha Pengampun’, الشكور, ‘Yang sangat berterima kasih’, الودود, ‘Yang Maha Mengasihi’, الرؤوف, ‘Yang Maha Belas Kasihan’, الصبور, ‘Yang Maha penyabar’. (6) فعال, terdapat tujuh kata yang berwazan ini yaitu الجبار, ‘Yang Maha perkasa’, الغفار, ‘Yang Maha pengampun’, القهار, ‘Yang Maha perkasa’, الوهاب, ‘Yang Maha pemberi’, الرزاق, ‘Yang Maha Memberi Rizki’, الفتاح, ‘Yang Maha pembuka pintu Rahmat’, التواب, ‘Yang Maha menerima taubat’. (7) فعيل, yang termasuk wazan ini 11 kata yaitu; الرحيم, ‘Yang Maha Penyayang’, العليم, ‘Yang Maha mengetahui’, السميع, ‘Yang Maha mendengar’, البصير , ‘Yang Maha melihat’, الحفيظ, ‘Yang Maha melindungi’, الحسيب, ‘Yang Maha mempertimbangkan segala sesuatu’, الرقيب, ‘Yang Maha mengamati’, الشهيد, ‘Yang Maha menyaksikan’, الوكيل, ‘Yang Maha mengurusi’, الحميد, ‘Yang Maha terpuji’, dan البديع, ‘Yang Maha mencipta’.
Masdhar (infinitif)
Di antara Asmaul Husna dengan bentuk Masdhar (infinitif) yang dianggap berfungsi sebagai Mubalaghah terdapat tiga kata, yaitu; السلام, ‘Yang Maha mencipta perdamaian’, العدل, ‘Yang Maha Adil’, dan الحق, ‘Yang Maha benar’.
Mubalaghah dalam pendekatan teologis
Teologis dalam istilah Yunani diaplikasikan untuk doktrin. Doktrin mempunyai tiga macam fungsi yaitu untuk penegasan dan penjelasan iman, pengaturan kehidupan normatif dalam melakukan pemujaan dan pelayanan, dan fungsi pertahanan iman serta penegasan hubungannya dengan ilmu pengetahuan yang lain. Teologi adalah logos of theos, merupakan tafsiran rasional tentang substansi agama mengenai pribadatan, simbol-simbol dan mitos kesemuanya itu pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari kitab suci sebagai perwujudan dari firman-firman Tuhan.[24]
Pendekatan teologi dalam tulisan ini artinya melakukan analisis doktrinal terhadap nama Allah yang terdapatdalam Asmaul Husna yang beurpa bentukan kata Mubalaghah, masdhar (‘infinitif’) dan kaitan antara Asmaul Husna dan Mubalaghah.
Para pakar ilmu bayan, salah satu cabang balaghah (Retorika Arab), terbagi menjadi tiga kelompok dalam memandang Mubalaghah yaitu; (1) kelompok yang menentang dipergunakan Mubalaghah, (2) kelompok yang menganjurkan penggunaannya tanpa perkecualian, dan (3) kelompok yang mengambil jalan tengah.[25] Kelompok pertama menganggap Mubalaghah tidak memiliki nilai keindahan dengan alasan bahwa ungkapan yang baik adalah yang sesuai dengan realita dan tidak dilebih-lebihkan, sementara Mubalaghah merupakan ungkapan berlebihan seperti terlihat dalam puisi-puisi masa kini. Selain itu, Mubalaghah hanya dipergunakan oleh mereka yang tidak mampu menggunakan ungkapan biasa. Maka tidak mengherankan apabila Mubalaghah dimanfaatkan untuk menutupi kebodohannya sehingga ungkapan berlebihan tersebut sampai pada batas yang sulit dicerna akal.
Kelompok kedua menganggap bahwa penggunaan Mubalaghah mencerminkan kefasihan dan kecakapan seseorang dan karena Mubalaghah lah nilai keindahan dalam makna sastra bertambah. Alasan mereka, karya sastra yang paling baik adalah yang paling jauh dari kebenaran dan ungkapan berlebihan adalah yang diutamakan. Karena itu, ungkapan yang tidak menggunakan Mubalaghah dianggap rendah nilainya.
Kelompok ketiga adalah yang mengambil jalan tengah, mereka menganggap bahwa Mubalaghah adalah salah satu variasi yang memiliki nilai keindahan. Karena itu, ungkapan yang di dalamnya terdapat Mubalaghah dianggap indah dan bermutu yang dengan mudah dapat dipahami oleh orang awam, tetapi hal ini tidak bersifat mutlak karena kejujuran merupakan keutamaan yang tak dapat disangkal dan memiliki nilai keindahan tersendiri. Itulah sebabnya, Mubalaghah dianggap baik dan memiliki nilai keindahan jika diungkapkan dengan wajar berdasarkan kejujuran dan dianggap tercela jika ungkapan tersebut sangat berlebihan.
Di antara tiga pandangan di atas yang merupakan pilihan para pakar teologi Islam adalah pendapat kelompok yang terakhir yang memandang adanya manfaat Mubalaghah dalam menambah nilai keindahan asalkan masih dalam batas kewajaran dan bukan khayalan belaka.
Mubalaghah, sebagaimana dipaparkan di atas, adalah pernyataan yang dianggap berlebihan baik yang mungkin terjadi dalam realita maupun yang tidak terjadi dalam kenyataan. Dalam kaitannya dengan nama-nama Allah yang terbaik (al-asma al-husna) yang sebagiannya diklasifikasikan sebagai Mubalaghah, perlu diperhatikan beberapa hal berikut:
Surat al-syura ayat 11 berbunyi: ليس كمثله شيئ ‘tak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya’. Para tokoh Asy’ariyyah dan Mu’tazilah menganggap bahwa ayat tersebut muhkamat, yakni ayat yang jelas maknanya dan tidak menerima makna lain kecuali satu makna yaitu “tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah swt baik terhadap Dzat-Nya, sifat-Nya maupun perbuatan-Nya”.
Ayat 42 surat Fush-shilat yang berbunyi: لايأتيه الباطل من بين يديه ولا من خلفه تنزيل من حكيم حميد, “yang tidak datang kepadanya (al-qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
Dalam rangka memahami sifat-sifat Allah swt, perlu dipertimbangkan sebuah aqidah yang menyatakan bahwa Allah swt memiliki sifat-sifat kesempurnaan dan terlepas dari segala macam sifat kekurangan.[26]
Dengan dasar-dasar di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sifat-sifat allah swt yang berupa bentukan kata Mubalaghah seperti: sami’ ‘Yang maha mendengar’, ‘alim ‘Yang Maha Mengetahui’, qadir ‘Yang Maha Kuasa’ dan penggunaan masdhar (‘infinitif’) seperti العدل ‘yang Maha Adil’, dan الحق ‘Yang Maha benar’, adalah sifat-sifat kesempurnaan Allah swt dan tak ada sedikitpun yang berlebihan. Dengan kata lain, hanyalah dari segi bentukan kata, pernyataan pernyataan di atas diklasifikasikan ke dalam Mubalaghah, sedang dari segi makna sifat-sifat Allah swt tersebut tidaklah patut disebut Mubalaghah maupun hiperbal.
Penutup
Mubalaghah, ungkapan yang dianggap berlebihan dalam salah satu kajian Balaghah (Retorika Arab) tidaklah persis sama maknanya dengan istilah hiperbol. Disamping mengungkapkan hal-hal yang bersifat imajinatif dan khayalan, Mubalaghah juga mengungkapkan hal-hal yang mungkin terjadi dalam kenyataan.Kaidah-kaidah kebahasaan yang berlaku untuk bahasa tertentu, mungkin tidak sesuai untuk bahasa yang lain karena kaidah-kaidah bahasa, ditetapkan berdasarkan bahasa itu sendiri.[27] Ini terbukti antara lain dengan adanya perbedaan antara hiperbol dan Mubalaghah di atas.
Sifat-sifat kesempurnaan Allah dan kesuciaan-Nya dari segala sifat kekurangan adalah masalah keimanan yang harus didahulukan dalam memahami wacana ketuhanan. Hal ini dianggap penting apabila bentuk kebahasaan berlawanan dengan makna teologis yang telah disepakati.
LAMPIRAN
Bagan 1
Klasifikasi Majas dalam Bahasa Indonesia (Moiliono 1989)
Bagan 2
Klasifikasi Majas dalam Bahasa Arab (Al-Hasyimi 1978)
[1] Al-Shabuni Muhammad Ali 1980 Shafwah al-tafasir. Dar Al-fikr Beirut, jilid 2.halaman 179.
[2] Ibid ,jilid 1, halaman 485.
[3] Sani Abdullah, 1980 Asmaul husna dalam komentar: digali dari al-Qur’an. Penerbit Bulan Bintang Jakarta.halaman 11
[4] Ny. Maslichah, 1086. “Hiperbola dalam Kesusastraan Arab” dalam Warta scientia, No 41 th XIV april 1986, FPBS IKIP Malang
[5] Badudu,Yus, 1975. Sari Kesusastraan Indonesia. Bandung Cv Pustaka Prima, Halaman 75.
[6] Lihat lampiran : bagan 1: Cakupan majas dalam bahasa Indonesia; bagan 2: Cakupan majas dalam bahasa Arab.
[7] Lihat lembar komunikasi 7,6 september 1992. Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa Jakarta.
[8] Abrams, M.H., 1981 A Glossary of literary terms. Rinehart and Winston japan, halaman 63.
[9] Webster, 1986. Webster’s Third New International Dictionary. Merriam Webster Inc. USA.
[10] Kridalaksana, Harimurti, 1993. Kamus Linguistik, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
[11] Moeliono, Anton M., 1989. “ Diksi atau pilihan kata” dalam Kembara bahasa kumpulan karangan tersebar, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Halaman 175-177.
[12] Ibid, Webster 1986.
[13] Departeman pendidikan dan kebudayaan, 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
[14] Ibid, moeliono, Anton M. 1989, Halaman 176.
[15] Ma’luf, louis, 1986. Al-Munjid Fi Al-Lughah Wa Al-A’lam, beirut: Dar al-Masyriq.
[16] Al- Bustani, al-Muallim Bathras, 1977. Muhith Al- Muhith: Qomus Al-Muthawwal Li Al- Lughah Al- Arabiyyah. Beirut: Maktabah Lubanan
[17] Al-Hasyimi, Ahmad, 1978. Jawahir Al-Balagha Fi Al-Ma’ani Wa Al-Bayan Wa Al-Badi’ Retorika Arab’. Beirut: Dar Al-fikr, Halaman 380.
[18] Lihat juga, Al- Suyuthi, Jalaluddin Abdur Rahman, Syarh ‘Uqudil Juman Fi ‘ilm Al-Ma’ani wa Al-Bayan ‘Interpretasi Retorika Arab’. Surabaya: Syirkah Al-Nur Asia, Halaman 122
[19] Ibid al-Bustani, al muallm Bathras 1977.
[20] Ibid, Ma’luf, louis 1986
[21] Ibid, al-Hasyimi,1960: 380; al-Suyuthi, tanpa th : 122-123; al-Damanhuri, tanpa th: 141-143; dan al-Yamani, Yahya bin Hamzah bin Ali bin Ibrahim al-Alawi, 1980, Kitab al-thiraz al-Mutadlammin li asrar al- Balaghah wa Ulum haqaiq al-I’jaz. ‘Retorika Arab’ Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. Halaman 125-131.
[22] Ibid, Al-Shabuni 1980, jilid 3, Halaman 356.
[23] Al-Ba’albaki, Munir, 1997. Al-Mawrid: A Modern English-Arabic Dictionary, Beirut: Dar El-Ilm Lil Malayen.
[24] As’arie, H,Musa, 1992. Manusia pembentuk kebudayaan dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, Halaman 15.
[25] Ibid, Al-Yamani, al-Yamani, Yahya bin Hamzah bin Ali bin Ibrahim al-Alawi, 1980: 117-121.
[26] Al-Jazairi, thahir , 1986. Al-Jawahir Al-kalamiyyah fi al-Aqidah al-Islamiyyah. Syarh dan tahqiq Abdul Aziz Izzuddin Al-Sairawan. Alam al-kutub
[27] Catford, J.C., 1965, A Linguistic Theory of Translation, London: Oxford Universitiy, Press
No comments:
Post a Comment